Monday, September 01, 2008

Gagal Karena Tidak Percaya


Suatu saat ada seorang anak yang berusaha mengambil mainan dari rak yang cukup tinggi kira-kira dua meter. Pada saat posisi diatas rak dan sedangasyik sekali memilih mainan, tiba-tiba terjadi mati listrik. Kontan Si Anak tersebut kaget dan ketakutan. Dia hanya bisa memejamkan mata dan berteriak memanggil orang tuanya.

“Ayah !, Bunda !, tolong aku!”

Orang tua anak tersebut sudah kenal betul dengan anaknya, kalau dia takut dengan kegelapan. Keduanya segera mendekati rak dan mengamati yang dilakukan anaknya dengan rasa sedikit geli, bercampur kuatir. Si Anak berdiri, terpejam dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Nak, ayo turun, ayah bunda dibawah!”
“Tidak! Aku takut, aku tak berani”

Si Anak sambil berisak tangis tetap menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kakinya terlihat mulai bergetar, yah, tanda kalau memang dia benar-benar ketakutan.

”Ayo, turun Nak, lompatlah, ayah akan menangkapmu!”
”Tidak ayah, aku tidak bisa melihat ayah”
”Percayalah Nak, ayah dibawah, ayah akan menangkapmu!”

Si Anak masih terlihat keraguan, walaupun kakinya mulai digerakkan. Tangannya tetap saja menutup wajah dan tak bersedia melihat ke bawah ke ayah dan bundanya.

”Ayo Nak, ayah akan menangkapmu, lompatlah...”
”Iya Nak, yakinlah ayah dan bunda akan menangkapmu, kamu tak perlu kuatir” kata Bundanya.
Ayah bersiap menangkap anaknya, sementara anaknya sedikit demi sedikit maju ke sisi depan rak dan melompat. Apa yang terjadi ?
Si Anak telah ditangkap oleh ayahnya dengan baik dan selamat. Setelah merasakan pelukan ayahnya dan elusan ibunya yang sangat mengkawatirkan, dia melepas tangan yang menutup wajahnya. Dia buka matanya. Walau samar dia melihat jelas itu ayah dan bundanya. Dia telah ditolong dan sekarang tidak lagi takut akan gelap. Seperti biasanya, saat dia ketakutan dengan gelap, begitu dekat dengan orang tuanya, maka rasa takut tersebut sudah terusir dengan sendirinya.

Rekan sekalian....
Dalam cerita tersebut kita tahu persis, bahwa Si Anak tidak melihat orang tuanya dibawah, karena mata dan wajahnya ditutup dengan telapak tangan. Namun dia masih bisa mendengar kata-kata orang tuanya. Semula di ragu, tidak percaya. Dan dia tidak berani melakukan apa-apa. Namun kemudian dia percaya dan melakukan sebuah tindakan, melompat.
Siapa dari kita yang pernah melihat Tuhan dalam sifat wujud? Kita banyak melihat, bukti-bukti adanya Tuhan, dengan hasil ciptaan dan pengaturan yang maha sempurna. Maka muncul iman. Namun, pada saat ini kita tidak membahas adanya relaita religius atau mengembangkan diskusi dalam ketuhanan. Kita akan melihat secara sekilas sistem manajemen yang banyak diadopsi oleh banyak organisasi perusahaan. Manajemen terapan cukup banyak yang sudah diimpor dan diimplementasikan di beberapa organisasi perusahaan di sekitar kita. Misalnya saja ISO 9001, 5S Jepang, Lean manufacturing, HACCP, QS 9000, Six Siqma, Balanced Score Card, dll. Ada yang mengatur bidang mutu, control biaya, performance appraisal dan banyak lagi. Sebagian perusahaan menggunakan sebagai tren yang sedang menjadi hot issue, sehingga menaikkan gengsi perusahaan, ada yang karena kebutuhan untuk strategi bisnis, ada yang kebutuhan karena tuntutan para pelanggan. Bermacam hal menjadi alasan mengapa harus ikut menerapkan.
Sebagian perusahaan sangat menikmati hasil dengan implementasi system tersebut, sebagian lagi merasa menjadi “beban” tambahan kerja. Bagi perusahaan yang merasakan benefit dari implementasinya, terbantu dalam setiap proses operasinya sampai dengan secara finansial, bisa dipastikan bahwa mereka dengan sebenarnya dalam menerapkan. Sebagian yang tersiksa dengan adanya implementasi, bisa dibuktikan pelaksanaan implementasi hanya sebatas pemenuhan kewajiban saja. Dan cenderung merasa “tersiksa” dengan adanya sistem.

Rekan sekalian…
Pada sistem apapun, bahkan tidak terkecuali pada sistem anutan religius, modal dasar pertama kita untuk merasakan benefitnya adalah percaya dengan adanya sistem tersebut, sesuai tujuan awal sistem diciptakan. Jika modal awal percaya ini belum ada, maka akan timbul keraguan. Merasa bahwa sistem seperti perjudian. Bukan saja ragu, tetapi bisa menjadikan sebagai objek untuk dikambing hitamkan. Ketika ada beban kerja lain yang tidak tercapai, maka digunakan sebagai salah satu alasan. Modal awal harus percaya, bahwa dicipakannya sesuai tujuan dan telah teruji.

Langkah berikutnya, dalam cerita tadi si Anak berusaha mengusir keraguan. Dia yakinkan bahwa dia akan berhasil turun, walau tidak melihat bawah. Tapi sadar betul ada ayahnya yang akan membantu menangkap setelah lompat. Dalam organisasi ini diaktualisasikan dengan menyamakan tujuan system dengan visi misi besar organisasi. Sehingga yakin bahwa system berjalan selaras dengan visi misi. Selaras dengan tujuan besar organisasi.

Do it ! Yah, setelah percaya dan yakin, tidak ada keraguan Si Anak melakukan aksi. Melompat. Tidak ada rasa canggung lagi. Dia bisa mengukur bahwa tergetnya akn tercapai. Benar! Dia melakukan dan berhasil. Kenapa berhasil, karena Si Anak melakukan arahan dengan baik. Dia tidak melakukan hal-hal sesuai keinginannya. Memaksakan penyesuaian dengan hal yang pokok yang tidak bisa ditawar. Bagaimana saat kita menerapkan system? Kita terlalu banyak melakukan modifikasi pada hal yang primer, yang seharusnya tidak bisa ditawar. Sehingga keluar dari panduan system yang sebenarnya. Hasilnya tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh system sendiri.
Hal ini bisa dilihat dengan bagaimana komitmen kita dalam mengimplementasikan? Sesuai dengan perasaan kita, hanya saat dikejar atasan, bukan sebagai kewajiban dan menyatu dengan operasional kerja atau masih menjadi beban tambahan kerja. Bagaimana dengan konsistensi dalam menjalankan? Atau sebaliknya? So, hasilnya sesuai dengan cara kita implementasikan. Kalau tidak percaya, ya gagal dari awal!

Dikutip dari:

0 comments:

Post a Comment

Recent Comments